Kritik KUR Perumahan: Benarkah Hanya Menguntungkan Pengembang Besar?

InteriorKita.com - Program KUR Perumahan sedang menjadi sorotan publik.
Pemerintah menyebut skema ini bisa menjadi solusi backlog perumahan sekaligus
mendukung target Program 3 Juta Rumah. Namun, sejumlah pengamat menilai
kebijakan ini masih menyisakan persoalan serius, terutama soal akses bagi
pengusaha kecil.
Jehansyah Siregar, pengamat perumahan dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), menyampaikan kritik tajam. Menurutnya, skema ini lebih
condong menguntungkan pengembang besar yang memiliki modal kuat, sementara
pengembang kecil berisiko tersisih.
Lalu, bagaimana sebenarnya peluang dan tantangan KUR Perumahan? Mari kita ulas lebih dalam.
KUR Perumahan atau Kredit Program Perumahan (KPP)
adalah pembiayaan yang digagas pemerintah untuk membantu pembiayaan sektor
properti. Skema ini diharapkan bisa mempercepat pembangunan rumah dan
mengurangi angka backlog yang masih tinggi di Indonesia.
Namun, berbeda dengan usaha mikro atau UMKM, bisnis properti memiliki kompleksitas tersendiri, mulai dari lahan, tata ruang, izin lingkungan, hingga infrastruktur pendukung. Hal inilah yang membuat banyak pihak meragukan efektivitas program tersebut.
Jehansyah menilai ada miskonsepsi fatal dalam
menyamakan bisnis properti dengan UMKM. Menurutnya, UMKM seperti usaha tahu
tempe atau mebel lebih sederhana dibandingkan dengan bisnis properti yang penuh
regulasi dan modal besar.
Kredit perbankan dengan prinsip prudensial otomatis membuat akses pengembang kecil menjadi sulit. Artinya, hanya pengembang dengan aset dan modal besar yang bisa memanfaatkan fasilitas ini.
Selain itu, Jehansyah juga mengingatkan potensi malpraktik
perbankan. Demi mengejar target Program 3 Juta Rumah, ada risiko
bank mengendurkan prinsip kehati-hatian. Jika ini terjadi, bukan hanya
pengembang kecil yang terpinggirkan, tetapi stabilitas keuangan juga bisa
terganggu.
Ia menegaskan perlunya pengawasan ketat dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar program ini tidak dimanfaatkan secara salah.
Menurut Jehansyah, masalah perumahan tidak bisa diselesaikan
hanya dengan kucuran dana. Ada faktor lain yang lebih mendasar, antara lain:
- Penyiapan
lahan (status tanah, tata ruang, perizinan, Amdal).
- Lokasi
dan akses transportasi.
- Ketersediaan
fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar.
Tanpa perencanaan matang, kredit perumahan hanya akan melahirkan proyek setengah jadi atau tidak layak huni.
Sebagai perbandingan, Singapura berhasil mengelola public housing lewat lembaga Housing & Development Board (HDB).
Kunci keberhasilan HDB adalah:
- Hunian
dirancang sebagai instrumen sosial, bukan sekadar bangunan.
- Tidak
ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, atau status sosial.
- Perencanaan
sistematis dengan dukungan penuh pemerintah.
Model inilah yang dinilai bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.
Indonesia sendiri punya pengalaman kurang baik. Program rumah susun seperti Rusunawa dan Rusunami sering disebut salah sasaran atau membebani negara. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara janji populis dengan implementasi di lapangan.
Jehansyah menekankan pentingnya membangun lembaga khusus perumahan dengan kapabilitas tinggi, sistem delivery yang jelas, dan perencanaan jangka panjang. Tanpa itu, KUR Perumahan dikhawatirkan hanya akan menjadi program sesaat yang tidak menyentuh akar masalah.
Kritik terhadap KUR Perumahan membuka mata bahwa
kebijakan perumahan rakyat tidak cukup hanya dengan menyalurkan kredit.
Diperlukan sistem yang melembaga, perencanaan matang, serta pengawasan ketat
agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat luas, bukan hanya pengembang
besar.
Jika Indonesia ingin meniru kesuksesan negara lain seperti Singapura, maka pembenahan sistem perumahan harus dilakukan dari hulu ke hilir.
Baca Juga:
Posting Komentar